Kerja Paksa Pada Masa Penjajahan Belanda Disebut
Kerja Paksa Pada Masa Penjajahan Belanda Disebut
Selama abad ke-18,
Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai kurnia ekonomi dan garis haluan di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi fungsi utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, belaka pada abad ke-18 mulai berekspansi minat bikin intervensi dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaannya pada ekonomi lokal.
Sekadar kecurangan, manajemen yang buruk dan persaingan eklektik berpangkal Inggris (East India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang penutup abad ke-18. Sreg musim 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi maka itu pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik (gana) VOC di Nusantara roboh ke tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, gana-mal tersebut dipindahkan ke tangan Inggris. Sehabis kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian lautan wilayah Nusantara lagi ke tangan Belanda.
Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Purwa, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 detik Belanda dikuasai oleh Perancis, dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 saat Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan area dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal andai
residensi) yang dipimpin maka itu seorang pegawai negeri sipil Eropa – yang disebutkan residen – yang secara langsung merupakan antek dari – dan harus melapor kepada – Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai ragam hal di residensi mereka, termasuk masalah syariat dan organisasi pertanaman.
Raffles menyinambungkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi majelis hukum, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Beliau memopulerkan fiskal tanah di Jawa yang berjasa bahwa penanam Jawa harus membayar pajak, agak-kira poin dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles pula sangat terikut dengan budaya dan bahasa Jawa. Puas waktu 1817 ia menerbitkan bukunya
The History of Java, salah suatu karya akademis pertama nan topiknya pulau Jawa. Sekadar, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di umum dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah kepala peringkat sedang Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara waktu 1825 dan periode 1890 jumlah ini meningkat berpangkal 73 menjadi 190 bos Eropa.
Sistem rezim kolonial Belanda di Jawa merupakan sistem yang direk (langsung) ataupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, suka-suka hirarki pribumi yang berfungsi laksana calo antara peladang Jawa dan layanan sipil Eropa. Adegan atas struktur hirarki pribumi ini terdiri berasal para kekonservatifan Jawa, sebelumnya para pemimpin nan menggapil kekaisaran Mataram. Cuma, karena dikuasai penjajah, para priyayi ini tertekan melaksanakan kehendak Belanda.
Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa tangkisan. Saat pemerintah kolonial Belanda memutuskan bakal membangun kronologi di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai pengampu tahta Yogyakarta pasca- kematian mendadak saudara tirinya), sira memberontak dengan didukung makanya mayoritas penduduk di Jawa Paruh dan ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlanjut waktu 1825-1830 dan mengakibatkan mortalitas seputar 215,000 anak adam, sebagian besar individu Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai – dan sri paduka Diponegoro ditangkap – Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.
Tanam Periang ataupun Sistem Kultivasi di Jawa
Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa, dan Perang Jawa mengakibatkan beban keuangan yang rumpil bakal pemerintah Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumur pendapatan utama kerjakan Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini ibarat era Tanam Paksa namun pemerintah kolonial Belanda menyebutnya
Cultuurstelsel
yang artinya Sistem Kultivasi) di tahun 1830.
Dengan sistem ini, Belanda memonopoli bursa komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Lebih-lebih sekali lagi, pihak Belanda-lah yang mengakhirkan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi makanya para peladang Jawa. Secara mahajana, ini bermanfaat bahwa para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Andai gantinya, para penanam menerima kompensasi dalam buram tip dengan harga yang ditentukan Belanda minus memerinci harga komoditi di pasaran dunia. Para bos Belanda dan Jawa memufakati bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil penuaian dibanding periode sebelumnya, maka menyorong intrusi
top-down
dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, fiskal tanah Raffles juga masih berlaku! Sistem Tanam Periang menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara waktu 1832 dan 1852, sekitar 19 komisi dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari protektorat Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, biji ini bertambah menjadi 33 persen.
Pada awalnya, sistem Tanam Periang itu tidak didominasi saja makanya pemerintah Belanda saja. Para pemegang supremsi Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pabrikan Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 – hari sistem Tanam Paksa direorganisasi – pemerintah kolonial Belanda menjadi anak ningrat penting. Belaka reorganisasi ini lagi menelanjangi pintu bagi pihak-pihak swasta Eropa lakukan mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena pemerintah kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pemanufaktur swasta Eropa.
Zaman Liberal Hindia Belanda
Semakin banyak kritik terdengar di Belanda yang mendorong sistem Tanam Paksa dan menyorong sebuah pendekatan yang kian liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Perbantahan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan alasan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kontrol di parlemen Belanda dan dengan sukses menghilangkan bilang ciri khas sistem Tanam Paksa seperti persentase penanaman beserta keharusan menggunakan kapling dan tenaga kerja bagi hasil pengetaman dengan pamrih ekspor.
Keramaian liberal ini membuka jalan kerjakan dimulainya sebuah periode hijau intern sejarah Indonesia yang dikenal laksana Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Hari ini ditandai dengan pengaruh samudra berpunca kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pada momen itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pabrikan-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Belaka, walau kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mencurat kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan, dan komplikasi tidak lebih baik di Zaman Liberal dibandingkan dengan masa sistem Tanam Momentum.
Abad ke-19 lagi dikenal bagaikan abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme plonco, negara-negara Eropa adu cepat bagi berburu koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Keseleo suatu motif berharga cak bagi Belanda kerjakan memperluas wilayahnya di Nusantara – selain keuntungan moneter – adalah bakal mencegah negara-negara Eropa lain menjumut putaran-penggalan dari wilayah ini. Pertempuran paling naik daun (dan pertempuran nan paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode pengembangan Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai puas waktu 1873 dan berlantas sampai 1913, berdampak pada kematian lebih berbunga 100,000 orang. Semata-mata, Belanda tak rangkaian menyambut otoritas penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara sebagai kesendirian politis kolonial telah terjangkau (sebagian besar) pada semula abad ke-20.
Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia
Waktu perbatasan Hindia Belanda mulai mirip perbatasan yang suka-suka di Indonesia kini, Yang dipertuan Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada orasi tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Garis haluan Sopan, akan diterapkan di Hindia Belanda. Politik Bermoral ini (yang merupakan pengakuan bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada insan pribumi Nusantara) bertujuan kerjakan meningkatkan kriteria hayat penduduk asli. Cara untuk mencapai intensi ini ialah menerobos campur tangan negara secara sederum dalam spirit (ekonomi), dipromosikan dengan slogan ‘irigasi, pendidikan, dan emigrasi’. Cuma, pendekatan hijau ini tidak membuktikan kesuksesan yang berjasa kerumahtanggaan situasi meningkatkan standar semangat penduduk zakiah.
Namun, Politik Etis itu ada efek samping yang dahulu bermanfaat. Onderdil pendidikan intern politik ini berkontribusi bermanfaat puas kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyisihkan alat-instrumen jauhari cak bagi para elite mahajana Indonesia bikin mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap pemerintah kolonial. Politik Moralistis ini memasrahkan kesempatan lewat sistem edukasi, kerjakan sebagian mungil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide strategi Barat mengenai kemandirian dan demokrasi. Maka, untuk purwa kalinya khalayak-hamba allah pribumi mulai mengembangkan kesadaran kewarganegaraan sebagai ‘cucu adam Indonesia’.
Pada 1908, para mahasiswa di Batavia mendirikan perikatan Budi Utomo, kelompok politis pribumi nan pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai tradisi politik kerja ekuivalen antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang diharapkan buat mendukung wilayah Hindia Barat mencapai kebebasan yang adv minim.
Bab seterusnya dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik permulaan berbasis musim, Sarekat Islam, puas tahun 1911. Plong awalnya, organisasi ini didirikan bagi membantu para pengusaha pribumi terhadap pabrikan Tionghoa yang mendominasi ekonomi domestik namum Sarekat Islam ini kemudian mengembangkan fokusnya dan meluaskan kedasaran politik populer dengan tendensi merusak.
Gerakan-aksi terdepan lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran ketatanegaraan pribumi adalah Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan pada tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan pada tahun 1914 yang menyebarluaskan ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpisahan internal di gerakan ini kemudian mendorong kaidah Partai Komunis Indonesia (PKI) sreg tahun 1920.
Puas awalnya, pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pendirian gerakan-usaha politik lokal namun momen ideologi Indonesia diradikalisasi pada tahun 1920an (seperti mana yang tampak dalam peperangan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun 1926 dan 1927) pemerintah kolonial Belanda mengubahkan kebijakannya. Sebuah rezim nan relatif toleran digantikan dengan rezim represif nan menekan semua tindakan nan diduga subversif. Pemerintahan represif ini justru memperparah keadaannya dengan meradikalisasi seluruh gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian berpangkal para nasionalis ini mendirikan Organisasi politik Nasionalis Indonesia (PNI) puas tahun 1927 bagaikan sebuah reaksi terhadap rezim yang represif. Tujuannya adalah hingga ke kebebasan penuh bakal Indonesia.
Situasi penting lainnya bagi nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda sreg periode 1928. Puas kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme diproklamasikan, menyatakan diri punya satu lahan air, satu nasion dan sejalan. Pamrih utama dari kongres ini adalah mendorong persatuan antara suku bangsa mulai dewasa Indonesia. Di privat kongres ini lagu nan kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya) dikumandangkan dan pan-ji-panji kewarganegaraan di masa otonomi (merah-putih) dikibarkan cak bagi nan pertama kalinya. Pemerintah kolonial Belanda berperan dengan melakukan operasi-aksi investigasi. Para pemimpin patriot muda, sebagai halnya Sukarno (yang di kemudian waktu menjadi kepala negara pertama Indonesia) dan Mohammad Hatta (konsul presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan diasingkan.
Penyerangan Jepang ke Hindia Belanda
Penjahah Belanda cukup abadi bagi mencegah patriotisme Indonesia dengan cara merenda para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi pembela negara. Namun para penjajah lain dapat menghapuskan iri chauvinisme yang telah tertanam di hati bangsa Indonesia. Basyar-insan Indonesia, di sisi tidak, bukan cukup kuat untuk melawan komandan kolonialis dan kesudahannya membutuhkan bantuan berpokok luar lakukan menghancurkan sistem kolonial.
Sreg Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak, menyenggangkan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda. Walau pada awalnya disambut umpama pembebas makanya penduduk pribumi Indonesia, mereka buru-buru mengalami kesengsaraan di dasar kolonialisme Jepang: kehilangan alat pencernaan, pakaian dan obat beserta kerja momentum di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan makanya administrasi yang tidak kompeten, dan ini mengubahkan Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia berkarya sebagai buruh paksa (disebut
romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam titipan-order konstruksi yang padat karya di Jawa.
Masa Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan-rumah tahanan terpidana dan digantikan dengan orang-individu Indonesia bakal melakukan tugas-tugas kepemerintahan. Tentara Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum cukup umur Indonesia dan memberikan celaan politik kepada para bos nasionalis. Ini memampukan para komandan nasionalis untuk mempersiapkan musim depan nasion Indonesia nan merdeka. Sreg rembulan-bulan keladak sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada aksi chauvinis Indonesia. Hancurnya pengaruh politik, ekonomi, dan sosial pemerintah kolonial Belanda babaran sebuah era bau kencur. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, delapan waktu setelah penghamburan bom anasir di Nagasaki dan dua hari setelah Jepang kalah perangnya.
Klik di sini untuk membaca tentang pemerintahan Sukarno
Perbedaan Kegaduhan tentang Masa Penjajahan Indonesia
Sebenarnya, ada tiga ‘sejarah’, atau makin tepat: tiga varian periode kolonial Indonesia, adalah:
1) Varian Indonesia (sejarah kolonialisme dari sudut pandang Indonesia)
2) Versi Belanda (sejarah penjajahan dari kacamata pandang Belanda
3) Versi akademik (sejarah kolonialisme dari sudut pandang para ahli sejarah)
Namun harus sinkron ditekankan bahwa di dalam tiga versi masing-masing terdapat banyak spesies lagi. Andeng-andeng, kita boleh melihat tiga varian tersebut secara garis besar.
Yang membedakan versi Indonesia dan versi Belanda berpokok varian akademis jelas: versi Indonesia dan versi Belanda diwarnai oleh sentimen dan/atau kepentingan garis haluan sendirisendiri, sedangkan varian akademik bertujuan kerjakan memberikan varian yang obyektif dan akurat (bukan bersendikan sentimen belaka beralaskan bukti dan sumur). Anda masa ini mungkin pertanyakan versi yang mana yang Anda baca di atas? Sudahlah, ikhtisar hari kolonial Indonesia yang disajikan di atas adalah sinopsis berpangkal varian akademik. Belaka, bukan kalah menariknya kerjakan menerimakan abnormal informasi tentang memori penjajahan Indonesia dari sudut pandang Indonesia versus sudut pandang Belanda. Dengan varian-varian ini, yang kami maksudkan adalah konsensus publik dan pandangan umum yang diterima oleh bangsa (termasuk rakyat baku cuma juga para pejabat pemerintah, dan mereka nan menulis buku-buku sejarah lakukan generasi akil balig, dll.) di kedua negara ini.
Tentunya, versi Indonesia dan versi Belanda ada banyak kesamaan. Namun, karena keterlibatan kedua pihak dalam sejarah kolonial ini, ada sejumlah perbedaan terkait dengan sentimen dan keistimewaan politik di masing-masing negara.
Persepsi Indonesia
Misalnya, detik berbicara dengan seorang Indonesia mengenai hari penjajahan (berapapun tingkat pendidikan orangnya) engkau akan mengatakan bahwa Indonesia dijajahi makanya Belanda selama tiga sepenggal abad. Benarkah ini? Selayaknya enggak terlalu tepat. Soalnya, statemen itu mengimplikasikan bahwa Indonesia mutakadim merupakan negara nan bersatu sreg tutup tahun 1500-an atau mulanya tahun 1600-an. Cuma, pada kenyataannya, tanah nan waktu ini kita kenal sebagai Indonesia dikuasai banyak kerajaan yang lain memiliki perhatian persaudaraan satu ekuivalen tidak, apalagi mereka lain mempunyai panas hati nasionalis, atau rasa persatuan lainnya. Faktanya, perang antara kerajaan-kerajaan itu terus terjadi sebelum (dempang) semua kerajaan itu ditaklukkan Belanda. Sebagai halnya digambarkan di atas, rasa pernah dan patriotisme di antara bangsa-bangsa Indonesia baru unjuk awal abad ke-20.
Lagipula, seluruh kewedanan yang sekarang kita kenal umpama Indonesia tidak ditaklukkan oleh Belanda pada waktu yang sama (dan kemudian dimiliki Belanda sepanjang 3.5 abad). Sebaliknya, ekspansi kebijakan Belanda di Nusantara agak pelan-tanah lapang dan bertahap (bersantap waktu sejumlah abad) sebelum wilayahnya di bawah cais Belanda (dan di beberapa fragmen kekangan Belanda itu terlampau dangkal, seperti di Aceh). Faktanya, baru sekitar masa 1930-an Belanda kurang kian mempunyai seluruh wilayah dengan pinggiran nan sekarang kita kenal perumpamaan Indonesia.
Namun nan harus diakui bahwa beberapa penggalan Nusantara memang dijajahi Belanda selama 3.5 abad (misalnya Batavia/Jakarta dan sebagian Maluku). Suka-suka bagian lainnya nan dikuasai Belanda sejauh sekitar dua abad (misalnya sebagian ki akbar pulau Jawa), sahaja sebagian besar Nusantara, secara bertahap, mentah ditaklukkan selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan di banyak area tak pernah cak semau pemukim putih nan mengawasi sendiri Belanda.
Kalau gitu, kok ada pandangan bahwa (seluruh) Indonesia dijajahi Belanda selama tiga setengah abad? Jawabannya adalah ‘politik’. Yang jadi jelas dari sinopsis di atas, nasionalisme Indonesia dibentukkan maka itu kesadaran para jejaka dan bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu (apa pun latar belakangnya, etnisnya, budayanya maupun agamanya) bahwa mereka memiliki satu imbangan bersama-bersama, yaitu para penjajah Belanda. Justru karena memiliki satu musuh nan kuat ini, bangsa yang sangat beragam itu tahu beraduk, menjadi bangsa Indonesia. Itu pun menjelaskan kenapa – setelah musuhnya itu telah hilang pada tahun 1949 – muncul periode kacau nan berkepanjangan privat politik dan awam Indonesia antara perian 1949 dan 1967. Dengan musuhnya hilang, tiba-mulai semua perbedaan mendasar antara rakyat Indonesia muncul ke permukaan yang kemudian mengakibatkan pemberontakan (PRRI di Sumatra dan Sepenuh di Sulawesi), panggilan untuk separatisme (Aceh dan Maluku), dan panggilan bakal mendirikan negara Selam (Darul Islam). Sahaja ketika sebuah rezim tiranis yang baru, ialah Orde Baru Suharto, menjumut cais, kekusutan tersebut kaprikornus hilang (dan, sama seperti mana waktu penjajahan Belanda, dengan mengorbankan hak asasi manusia).
Maka demi kemujaraban nasionalisme (untuk menjaga keesaan Indonesia), pemerintah Indonesia (pas setelah kemerdekaan) sengaja bukan mengistilahkan (misalnya internal resep-buku sekolah) bahwa daerah-negeri dan pulau-pulau masing-masing tidak memiliki sejarah nan sama privat konteks kolonialisme.
Persepsi Belanda
Belanda sekali lagi punya layak banyak alasan bikin menggambarkan sejarah kolonial nan farik dengan embaran. Soalnya Belanda selama sejumlah dekade terakhir adalah riuk satu negara nan menekankan pentingnya hak asasi orang (HAM). Masalahnya sikap ini sangat tidak semupakat dengan ki kenangan kolonialnya yang munjung dengan pengingkaran HAM di Nusantara (beserta di Suriname). Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan dalam sejarah kolonialnya tidak disebutkan di taktik-buku sekolah nan dibaca murid-murid Belanda di highschool. Sebaliknya, periode VOC justru digambarkan laksana puncak kebanggaan kewarganegaraan karena – meskipun negara nan dahulu kecil di Eropa – Belanda menjadi negara terkaya di manjapada puas abad ke-17 (‘Zaman keemasan Belanda’), tidak sekadar n domestik hal perdagangan dan militer tetapi juga dalam hal seni dan sains. Sekadar, pelanggaran HAM sukar disoroti.
Contoh yang menarik yaitu waktu mantan Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende menjadi jengkel saat urun rembuk dengan Dewan Perwakilan Belanda (Tweede Kamer) pada tahun 2006. Menanggapi rukyah pesimistis DPR Belanda akan halnya masa depan ekonomi Belanda, Balkenende mengatakan “mari, kita optimis, mari kita menjadi berpikiran positif kembali. Mentalitas VOC itu! Pandangan yang menerobos terpinggirkan!” Ini adalah transendental dari memori membedabedakan yang melambangkan rasa bangga nan berusul berbunga periode VOC. Sekadar, setelah Balkenende mengatakan demikian memang banyak makhluk politisi Belanda, media Belanda, dan rakyat Belanda nan mengkritik pernyataan Balkenende itu.
Pun terdepan untuk disebutkan bahwa makin banyak sosok Belanda siuman akan sejarahnya yang penuh kekerasan (termasuk perhambaan). Misalnya, patung-patung di Belanda yang meluhurkan orang-basyar bersumber masa VOC dan tahun kolonial – seperti Jan Pieterszoon Coen dan J.B. van Heutsz – sudah dibuang atau sangat dikritik maka itu warga Belanda setempat.
Kasus menyedot lainnya yakni permintaan maaf yang dibuat oleh wakil samudra Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan pada tahun 2013. Dia meminta maaf atas “ekses nan dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 dan 1949”. Ini sangka luar legal karena ini pertama kali penjabat Belanda minta abolisi soal sejarah penjajahan. Sekadar, belum pernah Belanda menunangi maaf atas semua situasi kekerasan yang terjadi sebelum 1945! Apalagi waktu Syah dan Baginda Belanda, Willem-Alexander dan Maxima, mengunjungi Indonesia lega tadinya 2020, Willem-Alexander dengan gagap meminta pemaafan atas kekerasan Belanda yang terjadi lega musim 1945-1949 (tak yang sebelum 1945).
Kenapa Belanda menunggu lama sekali sebelum minta absolusi cak bertanya kekerasan 1945-1949? Diasumsikan bahwa para komandan Belanda bukan ingin meminta maaf karena boleh menyinggung perasaan para purnawirawan Belanda (yang mempertaruhkan nyawa mereka di Indonesia demi negara mereka) dan kerabat para tamtama Belanda yang meninggal puas musim ’45 -’49 ketika berperang demi negaranya. Bahkan, kemungkinan besar pemerintah Belanda takut akan konsekuensi keuangan kalau menerima pelanggaran HAM lewat permintaan maaf (korban yang masih hidup, atau kerabat mereka, dapat menggugat).
Perigi:
•
M.C. Ricklefs: A History of Beradab Indonesia since c.1200
•
H. Dick, e.a.: The Emergence of a National Economy. An Economic History of Indonesia, 1800-2000
•
E. Locher-Scholten & P. Rietbergen, e.a.: Hof en handel: Aziatische vorsten en de VOC 1620-1720
•
D. Henley e.a.: Environment, Trade and Society in Southeast Asia
•
J. Touwen: Extremes in the Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia, 1900-1942
•
H. Jonge & Kaki langit. Kaptein e.a.: Transcending Borders: Arabs, Politics, Trade and Islam in Southeast Asia
Kerja Paksa Pada Masa Penjajahan Belanda Disebut
Source: https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/sejarah-penjajahan/item178