Siapakah Yang Menerapkan Tanam Paksa

Siapakah Yang Menerapkan Tanam Paksa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Graaf Johannes van den Bosch, dalang kebijakan
Cultuurstelsel.


Cultuurstelsel

(secara literal berarti
Sistem Kultivasi
atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai
Sistem Budi Gerendel) nan maka itu sejarawan Indonesia disebut laksana
Sistem Tanam Paksa
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch lega tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami barang ekspor, khususnya teh, akta, dan kakao. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa nan tak memiliki kapling harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) lega kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh daerah pertanian mesti ditanami tanaman laris ekspor dan akhirnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Kawasan nan digunakan untuk praktik
cultuurstelstel
kembali tetap dikenakan pajak. Warga yang enggak punya tanah perladangan terbiasa bekerja sepanjang setahun mumbung di lahan pertanian.

Tanam periang yakni era paling eksploitatif kerumahtanggaan praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih persisten dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada target pengajian pengkajian negara nan sangat dibutuhkan pemerintah. Petambak yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menyelamatkan tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Khazanah tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan osean untuk modal puas zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 sebatas 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan memakmurkan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar
Graaf
oleh tuanku Belanda, puas 25 Desember 1839.

Cultuurstelsel
kemudian dihentikan setelah unjuk berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Sukrosa 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah kolonialisme Indonesia.

Aturan

[sunting
|
sunting sendang]

Berikut yakni isi pecah kebiasaan tanam paksa:

  • Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi mudahmudahan menyempatkan tanah pertanian kerjakan cultuurstelsel enggak melebihi 20% atau seperlima putaran dari tanahnya bagi ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan petak yang disediakan kerjakan cultuurstelsel mulai sejak pajak, karena hasil tanamannya dianggap bagaikan pembayaran fiskal.
  • Rakyat nan enggak mempunyai tanah pertanian bisa menggantinya dengan bekerja di perkebunan hoki pemerintah Belanda ataupun di pabrik milik pemerintah Belanda sepanjang 66 perian atau seperlima perian.
  • Waktu bikin melakukan tanaman pada tanah persawahan cak bagi Culturstelsel enggak boleh melebihi tahun tanam padi alias kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi perkebunan dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan ataupun ketakberuntungan umpama akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana umbul-umbul dan terserang hama, akan ditanggung pemerintah Belanda
  • Pemasukan teknik pelaksanaan aturan tanam pejaka kepada superior desa
Baca Juga :  Tanaman Aquascape Di Sawah

Kritik

[sunting
|
sunting perigi]

Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politik Etis

Menurut sebuah catatan seorang Eropa yang jadi inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis menyebut informasi berusul sediakala 1835, di Priangan. Mayat para petambak berjelapak karena keletihan dan kelaparan, di selama Tasikmalaya dan Garut. Manakala mereka dibiarkan saja, tak dikubur, itu karena alasan Bupati yang seolah tak peduli: “Di waktu malam harimau akan menyeret mereka.”[1]
Terjangan-serangan berpokok individu-basyar non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kefakiran yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan, Demak, Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang jebah terhadap bumiputra Jawa. Muncullah sosok-makhluk humanis atau praktisi Liberal menyusun serbuan-serangan strategisnya. Dari satah sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di tanah lapang publisistik unjuk E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di rataan kebijakan dipimpin makanya Baron van Hoevell. Bersumber sinilah muncul gagasan ketatanegaraan etis.

Kritik kaum liberal

[sunting
|
sunting perigi]

Manuver kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Pejaka dihapuskan telah berbuntut pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria,
Agrarische Wet. Sahaja tujuan yang hendak dicapai maka itu kaum liberal tidak hanya sedikit puas penghapusan Tanam Momentum. Mereka punya tujuan lebih lanjut.

Operasi liberal di daerah Belanda dipelopori maka itu para pengusaha swasta. Oleh karena itu kemerdekaan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di permukaan ekonomi. Kaum liberal di area Belanda berpendapat bahwa hendaknya pemerintah jangan turut racik tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menuntut agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak bak penaung warga negara, menyempatkan prasarana, menegakkan azab dan menjamin keamanan serta ketertiban.

Baca Juga :  Cara Membuat Bajaj Dari Kardus

UU ini memperbolehkan perusahaan-firma perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan paser masa paling kecil lama 75 hari, kerjakan ditanami tanaman keras sebagaimana kejai, teh, kopi, kelapa sawit, tinta (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam lembaga carter jangka ringkas.

Kritik suku bangsa humanis

[sunting
|
sunting sumber]

Kondisi kefakiran dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria ini mendapat kritik berusul para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang anak kunci
Max Havelaar
(1860). Dalam bukunya Douwes Dekker memperalat nama samaran Multatuli. Intern buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pembesar Hindia Belanda.

Sendiri anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat catatan berjudul
Een Eereschuld, yang membeberkan kefakiran di kapling jajahan Hindia Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah
De Gids
yang terbit tahun 1899. Van Deventer n domestik bukunya mengimbau kepada Pemerintah Belanda, mudahmudahan mengaibkan penghidupan rakyat di petak jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Dampak

[sunting
|
sunting sumber]

N domestik bidang pertanian

[sunting
|
sunting sumber]

Cultuurstelsel
membubuhi cap dimulainya penghijauan tanaman komoditas pendatang di Indonesia secara luas. Tindasan dan teh, nan sediakala semata-mata ditanam buat khasiat kegantengan ujana berangkat dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman jati, menjadi populer lagi setelah sebelumnya, plong masa VOC, perkebunan cuma berkisar plong tanaman “tradisional” penyelenggara rempah-rempah begitu juga cili, pala, dan cengkih. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan nan melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya riset untuk meningkatkan hasil barang pertanian, dan secara publik peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perkebunan. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Pertanahan 1870 kegiatan penelitian perladangan dilakukan secara serius.

Baca Juga :  Cara Membangkitkan Tenaga Dalam Bagi Pemula

Dalam bidang sosial

[sunting
|
sunting sumber]

Dalam bidang persawahan, khususnya intern struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap ibarat budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi nan berprinsip puas pemerataan internal pendistribusian tanah. Perantaraan antara penduduk dan desanya semakin lestari keadaan ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Situasi ini terjadi karena penduduk lebih suka tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan lakukan perkembangan kehidupan penduduknya.

Privat latar ekonomi

[sunting
|
sunting sumber]

Dengan adanya tanam momentum tersebut menyebabkan pelaku mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka makin mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-daerah tingkat pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. N domestik pelaksanaan tanam momentum, penghuni desa diharuskan menyerahkan sebagian petak pertaniannya untuk ditanami pokok kayu eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah properti penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tumbuhan eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perladangan swasta mengiler untuk ikut memintasi pertanian di Indonesia di kemudian hari.

Akibat tak dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja kerah” yaitu satu kerja paksa bakal penduduk minus diberi upah nan memadai, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja kerah oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-flat anjungan buat fungsionaris pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk angkatan kolonial. Di samping itu, penduduk desa se panggung diwajibkan membudidayakan dan menggapil gedung-bangunan pemerintah, mengangkut salinan-surat, komoditas-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan beraneka macam tiang penghidupan bakal kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu seorang.

Bacaan

[sunting
|
sunting mata air]


  1. ^


    Mohamad, Goenawan
    (2006, cet.6).
    Catatan Pinggir.
    1:430 – 431. Jakarta: Grafiti Pers. ISBN 979-96724-3-0.

Pranala asing

[sunting
|
sunting sumber]

  • (Indonesia)
    Secara Ekonomi, Tanam Pejaka Gagal
    [
    pranala nonaktif permanen
    ]



Siapakah Yang Menerapkan Tanam Paksa

Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel