Tujuan Pemerintah Kolonial Belanda Melaksanakan Sistem Tanam Paksa Adalah

Tujuan Pemerintah Kolonial Belanda Melaksanakan Sistem Tanam Paksa Adalah

Beliau tentunya sudah tak asing juga saat mendengar sistem tanam periang. Keadaan yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda ini memang tidak boleh dihapuskan bersumber sejarah kelam nasion Indonesia. Lantas, barang apa sebenarnya dan bagaimana sistem tanam paksa yang mengakibatkan rakyat begitu menderita ini? Kalau ingin mencerna jawabannya, sambil cek semata-mata ulasannya berikut!

Sistem tanam paksa merupakan salah satu metode yang diberlakukan oleh Belanda untuk mengeruk kekayaan di nusantara. Pencetus berpangkal ketatanegaraan tersebut adalah Gubernur Jenderal Van den Bosch dan berlaku sekitar tahun 1830-an.

Keseleo satu peraturan intern sistem tanam momentum atau cultuurstelsel tersebut adalah rakyat harus menyediakan 20% lahannya kerjakan ditanami pokok kayu komoditi ekspor. Namun plong kenyataannya, tidaklah demikian. Tidak sahaja dieksploitasi lahannya, tetapi kembali tenaga rakyat.

Gimana? Anda karuan semakin penasaran dan cak hendak mengarifi lebih jauh tentang sistem tanam momentum di zaman kolonialisme Belanda ini, kan? Jika semacam itu, nggak perlu kebanyakan basa-basi. Informasi sebaik-baiknya dapat engkau simak lampau kata sandang di pangkal ini.

Bidang Bokong Tercetusnya Sistem Tanam Momentum

Sistem Tanam Paksa - Van den Bosch Van den Bosch
Mata air: Wikimedia Commons

Kebijakan tanam paksa tiba bertindak masa 1830 sreg masa pemerintahan Van den Bosch. Tujuan dari sistem ini ialah cak bagi mendapatkan dana sebagai menyokong perekonomian Belanda. Karena pada saat itu, mereka mengalami defisit. Lain tetapi akibat pembiayaan perang dengan bangsa tak, akan tetapi pun kerjakan melawan tentangan-penampikan rakyat nan terjadi di banyak distrik.

Selain itu, peraturan ini dianggap sebagai pembaharuan bersumber sistem kontrak lahan yang berlaku pada periode kepemimpinan Thomas Raffles yang mengalami kegagalan. Puas zaman Raffles, dia berpendapat bahwa pemerintah Hindia Belanda-lah yang menjadi pemilik sah atas tanah-kapling penghuni.

Maka dari itu, rakyat harus menggaji fiskal karena dianggap sebagai penyewanya meskipun itu yakni tanah properti pribadi. Adapun predestinasi lainnya merupakan misal berikut:

a. Harga carter persil ditentukan bergantung pada kondisi tanahnya. Kuantitas pajak sawah kelas I yaitu 50%, papan bawah II 40 %, dan kelas III ialah 33 %. Selanjutnya, bakal huma papan bawah I sebesar 40%, kelas II 33%, dan inferior III sekitar 25%.

b. Fiskal nan dibayarkan adalah intern bentuk uang jasa. Namun kalau tertekan tak cak semau uang, boleh menggunakan hasil bumi.

c. Bagi orang yang bukan memiliki tanah, mereka akan dikenakan pajak masing-masing kepala.

Sistem tersebut mengalami kekecewaan karena sulit untuk menentukan kondisi tanah. Mengenai seberapa suburnya tanah tersebut tidak memiliki standar yang jelas. Pemerintah Hindia Belanda juga tidak terlibat aktif kerumahtanggaan mengawasi praktiknya. Ini mengakibatkan banyak terjadi pelanggaran qanun.

Selain itu, tarikan pajak yang sedemikian itu tinggi tentu lalu memberatkan rakyat. Hasil perkebunan mereka tidaklah seberapa, tetapi harus membayar pajak nan tidak sedikit. Hal ini karuan sahaja membuat kehidupan rakyat menjadi semakin menderita.

Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Sejarah Era Imperium Ternate yang Masih Cak semau Hingga Waktu ini

Kebijakan-Kebijakan yang Dolan dalam Sistem Tanam Momentum

Seperti yang telah kamu baca di atas, sistem tanam paksa diberlakukan kendati pemerintah Hindia Belanda bisa dengan cepat mendapatkan suntikan dana. Hanya selain itu, tujuannya yakni untuk membuat Pulau Jawa seumpama salah satu pengekspor produk pertanaman seperti teh, dokumen, nila, sakarosa, dan tembakau yang ki akbar. Untuk mengaras maksud tersebut, ordinansi-peraturan yang dijalankan adalah:

Baca Juga :  Bagian Bagian Bunga Sepatu

a. Rakyat maupun pribumi diharuskan menyisihkan seperlima bagian alias 20% lahan tanahnya cak bagi cultuurstelsel. Nantinya, tanah tersebut digunakan untuk memakamkan komoditas ekspor sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

b. Seperlima tanah itu dibebaskan dari pajak. Pasalnya, hasil pertanian yang diserahkan akan dihitung sebagai pembayaran pajaknya.

c. Bagi mengebumikan tanaman cultuurstelsel durasinya tidak boleh melebihi periode tanam padi, yaitu semata-mata bisa selama kurang kian tiga bulan.

d. Apabila hasil pengetaman surplus terbit bilangan yang sudah diberlakukan, maka sisanya akan dikembalikan puas petambak.

e. Sekiranya tanaman tembelang akibat gangguan alam alias terserang wereng, maka kerugian akan ditanggung oleh pemerintah Belanda.

f. Hasil panenan nanti dikumpulkan atau diserahkan kepada kepala desa.

g. Darurat itu, bakal orang-orang nan tidak memiliki petak pertanian diharuskan bekerja di perkebunan milik Belanda. Waktunya sangka-asa hanya seperlima tahun atau 66 hari.

Baca sekali lagi: Maklumat Lengkap mengenai Ken Arok, Si Pendiri Kerajaan Singasari yang Memiliki Masa lepas Mendung

Penyimpangan berasal Penerapan Tanam Periang pada Hari Penjajahan Belanda

Para Pekerja Tanam Paksa Para Pekerja Tanam Momentum
Sumur: Wikimedia Commons

Sebentar, peraturan-regulasi yang dibuat untuk melaksanakan cultuurstelsel ini boleh jadi terlihat tidak plus musykil. Sayangnya, banyak sekali terjadi pengingkaran pada pelaksanaannya.

Puas waktu itu, pemerintah Belanda prospektif prosesan cak bagi para ketua. Nah, praktik inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab distorsi yang terjadi pada peraturan awal atau tulangtulangan sistem tanam paksa.

Keadaan rakyat pun menjadi semakin sengsara karenanya. Beberapa penyimpangan yang terjadi, yaitu:

a. Plong peraturan awal, rakyat hanya diwajibkan untuk memberikan 20% berbunga luas tanahnya bikin cultuurstelsel. Namun nyatanya, persil nan diambil makin berpangkal ketentuan yang berlaku.

b. Amnesti tanah cultuurstelsel hanyalah wacana hanya. Pasalnya, tanah tersebut tetap dikenai fiskal yang berlaku.

c. Hasil panen yang melebihi qada dan qadar juga tidak dikembalikan pada orang tani. Semua hasil perkebunan tetap diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi, tentu saja kelebihannya masuk ke kantong ketua lokal.

d. Petani tidak mendapatkan restitusi berasal pada ketika terjadi gagal panen. Kecelakaan tersebut ditanggung sendiri oleh para pekebun.

e. Anak adam-orang nan tidak punya persil puas awalnya hanya diwajibkan berkreasi sejauh 66 musim saja. Pada kenyataannya, mereka bekerja bertambah dari musim nan ditentukan dan tidak digaji. Akibatnya, banyak dari mereka yang meninggal akibat kepayahan bekerja.

Baca juga: Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah berpunca Kerajaan Gowa-Tallo, Rongga dada Mekah di Indonesia Timur

Akibat pecah Penerapan Kebijakan Tanam Momentum

Sistem Tanam Paksa - Para Pekerja Pabrik Para Pekerja Industri
Sumber: National Geographic

Sebuah garis haluan yang diterapkan tentu tetapi n kepunyaan dampak di berbagai rataan, entah itu bernilai positif maupun negatif. Adapun dampak dari penerapan sistem tanam paksa pada zaman penjajahan Belanda yakni:

1. Bidang Ekonomi

a. Salah satu dampak positif berusul penerapan sistem tanam periang ini adalah para pekerja mulai mengenal sistem upah. Karena puas perian sebelumnya, rakyat hanya mengenal sistem gotong royong dan kolaborasi.

b. Akan tetapi dampak negatifnya tentu cuma lebih banyak. Salah satunya adalah rakyat dipaksa kerjakan menyewakan tanah mereka kepada pemerintah Hindia Belanda.

c. Seterusnya, pemberlakuan sistem tersebut memang membuat hasil panenan menjadi congah sehingga komoditi ekspor menjadi semakin banyak. Namun, situasi ini membuat para pemilik pertanaman swasta menjadi serakah dan juga ingin memintasi lahan perkebunan rakyat.

Baca Juga :  Kerajinan Dari Daun Kering

2. Latar Pertanian

a. Sedangkan, dampak nan terjadi dalam bidang perladangan yakni penanaman tanaman komoditas menjadi semakin menyeluruh. Persil-lahan untuk menanam kopi, tebu, nila, dan teh memencar di berbagai daerah.

b. Penerapan cultuurstelsel ini juga membangunkan pemerintah Belanda akan suatu keadaan, ialah meningkatkan produksi beras. Hal itu dikarenakan keuntungannya pun tidak kalah besar dibandingkan dengan pokok kayu nan menjadi komoditas ekspor.

c. Daerah Hindia Belanda sebenarnya banyak sekali tanaman yang dapat dibudidayakan. Akan tetapi, pemerintah namun berpusat sreg rempah-rempah dan beberapa barang dagangan ekspor. Sementara itu, bangsa pribumi juga masih mahajana dan lain senggang apa-apa mengenai potensi tersebut.

Baca lagi: Ulasan Kamil Mengenai Silsilah Sultan-Prabu yang Susunan Memelopori Kekaisaran Kediri

3. Bidang Sosial

a. Dampak positif sistem tanam pejaka di bidang sosial adalah terjadinya kesatuan sosial dan pemerataan ekonomi. Keadaan itu dikarenakan prinsip pembagian petak yang menjadi merata.

b. Sayangnya, dampak negatifnya bertambah banyak. Contohnya adalah terjadinya bencana kelaparan di beraneka macam daerah.

Banyak rakyat yang menderita dan kekurangan vitamin. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya lahan yang digunakan untuk menanam tanaman komoditas sehingga lahan untuk mengebumikan mangsa pokok menjadi terbatas.

Penurunan penduduk nan paling tajam terjadi di Grobogan. Pada tahun 1848 sebatas 1850, penghuni di sana awalnya berjumlah sekitar 89.500 orang. Namun kemudian, sahaja tersisa sebanyak 9.000 jiwa saja.

c. Selanjutnya, para pemukim desa kemudian menjadi lebih memiliki dan terkesan dengan desanya. Ini menjadi catatan nan buruk lega hari itu karena perkembangan desa itu menjadi terhambat. Kemudian, hal ini membuat para pemukim menjadi tersisa karena tekor wawasan.

d. Penerapan cultuursetelsel memicu adanya kerja rodi. Rakyat tidak hanya diperas tenaganya cak bagi menanam tanaman ekspor. Akan sahaja, mereka pula diharuskan membangun sarana infrastruktur.

Pada waktu itu, rakyat diharuskan lakukan bekerja mendukung pemerintah kolonial membangun kubu, jembatan, jalan bentar, jalur kereta api, waduk, dan masih banyak lagi. Tenaga mereka diforsir buat membangun itu semua, tetapi tidak mendapatkan upah yang layak.

Tak semata-mata sebagai pekerja berangasan, sebagian pribumi tidak sekali lagi menjadi pesuruh sida-sida pemerintah Hindia Belanda maupun kepala desa setempat. Contohnya tetapi adalah untuk menyampaikan sahifah, mengangkut komoditas-barang, maupun menernakkan gedung-konstruksi milik rezim. Jangan ditanya berapa besar upahnya. Diberi bersantap saja sudah bersyukur.

Baca juga: Musim Kejayaan dan Faktor yang Menjadi Penyebab Runtuhnya Imperium Islam Ternate

Bentuk Suara Terhadap Penerapan Sistem Tanam Momentum

Eduard Douwes Dekker Eduard Douwes Dekker
Sumber: Wikimedia Commons

Dari sumber sejarah yang nyata tulisan dari L. Vitalis yang menjadi pengontrol pengawas bilamana itu. Dampak dari sistem tanam paksa memang sangatlah menakutkan.

Para praktisi yang kelelahan akhirnya meninggal marcapada. Namun, jasad mereka tidak diurus dengan baik dan ditinggal begitu saja di jalanan. Balasannya, mereka menjadi makanan hewan sadis di malam periode.

Para pejabat lokal nan seharusnya menjadi pelindung pribumi tak acuh dengan kejadian tersebut. Kegundahan akan roh pribumi bahkan datang terbit orang-insan Belanda berpangkal suku bangsa humanis dan liberal.

1. Kritikan Kaum Humanis

Siksaan rakyat pribumi menghalau rasa kepedulian para kaum humanis Belanda. Salah satunya yang berjuang kerjakan menghapuskan tanam periang adalah Eduard Douwes Dekker nan merupakan sendiri asisten residen nan bertugas di Lebak, Banten.

Baca Juga :  Bunga Terindah Di Dunia

Puas waktu 1860, ia batik sebuah buku berjudul
Max Havelaar
dengan menggunakan cap samaran Multatuli. Terlampau buku tersebut, ia menceritakan tentang penderitaan dan kondisi rakyat akibat garis haluan yang diberlakukan maka dari itu Belanda.

Selain Douwes Dekker, ada juga Van Deventer yang menuliskan tentang kefakiran rakyat di Hindia Belanda. Di situ, kamu kembali menyarankan agar pemerintah bertambah memperhatikan kesentosaan rakyat tanah jajahan, tak semata-mata mengekploitasi mal dan tenaganya saja. Tulisannya tersebut dimuat dalam sebuah majalah plong masa 1899.

Fansen van de Putter juga berkontribusi kerumahtanggaan gerakan tersebut. Beliau menerbitkan artikel tentang Perjanjian Gula nan pada saat itu tinggal merugikan pekebun pribumi.

Baca sekali lagi: Ulasan adapun Raden Teriris, Si Pendiri Kerajaan Demak nan Masih Keturunan Ningrat

2. Kritikan Kaum Liberal

Kritikan terhadap pemerintah Belanda sekali lagi datang dari suku bangsa liberal. Utamanya, kaum ini digerakkan oleh para pemanufaktur swasta.

Mereka tidak hanya berjuang cak bagi menghapus sistem tanam paksa saja. Akan tetapi, juga mengemban misi bukan, adalah memperoleh independensi dalam menjalankan perekonomian.

Kaum Liberal mengemukakan pendapat bahwa moga pemerintah melindungi warga negara saja, lain usah campur tangan dalam sektor ekonomi. Selanjutnya, kegiatan ekonomi hendaknya dipegang makanya pihak swasta saja.

Berdasarkan UU Agraria, para pengusaha swasta diperbolehkan bakal menyewa lahan bikin kurun tahun 75 waktu. Pohon nan holeh ditanam pada jangka pangkat adalah sertifikat, teh, kelapa sawit, karet, dan nila. Sementara itu, untuk jangka singkat tanamannya adalah tembakau dan tebu.

Pada akhirnya pemerintah Belanda mengambil tindakan untuk menghentikan pelaksanaan sistem tanam paksa akibat demonstrasi-protes tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Agraria, cultuurstelsel secara formal berakhir pada tahun 1870.

Baca juga: Pengetahuan tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Teristiadat Engkau Ketahui

Sudah Sreg Menyimak Publikasi Seputar Tanam Paksa di Atas?

Demikianlan ulasan abstrak mengenai sistem tanam paksa beserta dampak-dampaknya yang bisa dia temukan di sini. Bagaimana? Seyogiannya saja setelah membacanya dapat mengekspos wawasanmu.

Terimalah, di PosKata, kamu lain hanya akan mendapatkan informasi tentang era penjajahan saja, lho. Sekiranya penasaran dengan sejarah kerajaan-kerajaan nan cak semau di Indonesia, kamu boleh menyimak kata sandang-kata sandang yang lainnya.

Contohnya semata-mata ada kerajaan bercorak Hindu-Buddha sebagaimana Tarumanegara, Singasari, Majapahit, Kediri, dan masih banyak lagi. Selanjutnya buat kekaisaran bercorak Islam terserah Mataram Islam, Aceh, Demak, dan Gowa-Tallo. Baca terus, ya! Jangan sampai tunggakan informasi menariknya.

Penulis
Errisha Resty

Errisha Resty, lebih doyan dipanggil pakai nama depan ketimbang nama tengah.  Lulusan Perguruan tinggi Serani Satya Referensi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris nan bertambah minat nulis daripada ngajar. Doyan nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7.

Pengedit
Elsa Dewinta

Elsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita nan punya passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, batik bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi katib hebat karena terbiasa dan mau belajar.

Tujuan Pemerintah Kolonial Belanda Melaksanakan Sistem Tanam Paksa Adalah

Source: https://www.poskata.com/histori/sistem-tanam-paksa/